Prilly Ngajar di Fisipol UGM, Mahasiswa Tanya Begini

Ada berbagai pertanyaan yang dilontarkan mahasiswa saat Prilly Latoconsina mengajar tentang Kajian Selebritas di Universitas Gadjah Mada (UGM), Kamis (29/9/2022).
Pada kesempatan tersebut, Prilly Latuconsina mengajar di hadapan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM (Fisipol UGM). Ia menjadi dosen tamu dalam program Praktisi Mengajar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
Para mahasiswa di antaranya menanyakan tanggung jawab public figure untuk merespons isu yang tengah merebak, persona ganda tokoh publik di media sosial, respons selebritas akan layanan Over-The Top (OTT) dan risikonya, hingga fenomena selebritas yang dapat moncer dalam waktu singkat di industri film Indonesia.
Tanggung Jawab Selebritas Merespons Isu yang Berkembang
Salah satu mahasiswa di kelas Prilly mempertanyakan tanggung jawab selebritas untuk merespons isu yang tengah berkembang di tengah masyarakat, terutama yang berkenaan dengan citranya di muka publik.
Sang mahasiswa mengangkat kasus tentang anggota band Twenty One Pilots yang sempat dianggap fans tidak menggunakan platformnya untuk merespons isu penting seperti Black Lives Matter.
Saat itu, personel Twenty One Pilots semula merespons bahwa dirinya tengah mendahulukan kesehatan mentalnya sehingga tidak fokus pada isu tersebut. Twenty One Pilots sendiri dikenal sebagai band yang vokal akan pentingnya kesehatan mental.
“Tidak mendukung atau apa, tidak memberikan statement. ‘Kenapa kamu enggak ngomong, padahal kamu punya influence.’ Jadi mempertanyakan, selebritas itu punya tanggung jawab untuk merespons atau tuntutan fans yang merasa membuat mereka terkenal?” tanya mahasiswa tersebut pada Prilly.
Pada isu tersebut, personel Twenty One Pilots Tyler Joseph lalu membuat klarifikasi terkait isu kesehatan mental yang ia fokusi, pentingnya isu hak asasi manusia seperti Black Lives Matter (BLM) , meminta maaf jika cuitannya menyakiti orang, dan mengepos tautan untuk mendukung isu BLM seperti permintaan penggemarnya.
Prilly menuturkan, pada konteks kampanye sosial, aset digital tokoh publik pada dasarnya sangat bisa dimanfaatkan untuk menyuarakan isu sosial. Sebab, kampanye sosial yang disampaikan ke followers si tokoh bisa diketahui dan dilaksanakan para audience.
“Malah, harus dimanfaatkan ke isu-isu sosial. Jadi, yang followers-nya banyak enggak boleh males berkontribusi ke isu-isu sosial, karena penting banget,” tuturnya.
Sementara itu, Prilly menambahkan, selebritas tidak mempunyai kewajiban merespons atau mengomentari kasus yang berkembang di publik.
“Nah misal di kasus-kasus saat fans merasa publik figur harus bersuara, ‘Kok nggak ngepos apa-apa sekarang, kan lagi ada kasus ini?’ Balik lagi, kita tidak punya kewajiban merespons atau mengomentari kasus apapun,” tuturnya.
Prilly menuturkan, berdasarkan pengalaman, dirinya menyesuaikan konten yang tidak dibuat di media sosial dengan citra yang dibangun. Ia mencontohkan, dirinya tidak mengepos hal-hal berbau politik karena banyak audience-nya yang berusia di bawah 17 tahun dan belum punya suara untuk memilih.
“Tidak meng-encourage memilih salah satu kandidat, itu pilihan aku. Walaupun saat itu (responsnya) ‘Kok Prilly nggak ngasih tahu sih pilihan dia apa, seharusnya dia kasih tahu kita dia dukung siapa’,” kata Prilly.
“Begitu juga Twenty One Pilots. They dont have obligations to post anything, karena pasti ada alasannya untuk tidak posting,” sambungnya.
Ia menambahkan, fokus personel band tersebut pada isu kesehatan mental bisa jadi salah satu pertimbangan untuk tidak mengepos konten yang diminta audiens.
“Kalau dia tidak posting, mungkin dia lebih mementingkan mental health orang kebanyakan. Mungkin dia bepikir kalau posting, nanti ada komunitas yang tidak setuju, malah makin ribut, jadi mendingan diam,” kata Prilly.
“Bisa jadi pilihan juga untuk silent dan tidak posting apapun daripada membuat semuanya jadi rusuh ya,” tegasnya.
Prilly: Tidak Semua Hal Butuh Klarifikasi
Ia menambahkan, tidak semua kasus, terutama masalah personal, perlu diklarifikasi di muka publik kendati diminta penggemar.
“Tidak semua hal membutuhkan klarifikasi,” tuturnya.
“Jadi diam, tidak memposting apapun, tidak kelihatan mendukung apapun, itu tidak masalah. Itu tidak menjadi obligasi kita,” sambungnya.
Ia mengatakan, ketika seseorang mengalami sesuatu, maka ia dapat memutuskan untuk tidak meresponsnya di depan publik.
“Itu keputusan aku. Mungkin aku melakukan suatu hal di belakang layar, yang tidak perlu aku perlihatkan ke publik. Aku tidak perlu klarifikasi dan mengonfirmasi apapun,” tuturnya.
“Begitu juga kasus-kasus–ini sering terjadi, yang personal–misalnya kasus berantem A sama B, tapi minta maafnya ke publik. Ini enggak sih menurut aku. Kalau aku kerja sebagai PR-nya, di perusahaannya, aku tidak akan membuat press release atau presscon yang membuat orang itu minta maaf secara publik,” sambung Prilly.
Untuk konteks masalah pribadi, menurutnya, tepat untuk mengurusnya ke orang yang bersangkutan ketimbang mengklarifikasi di media sosial untuk publik.
“Yang paling sering dilupakan public figure, influencer, itu cara memitigasi, canya memitigasi risiko hal-hal yang tidak diinginkan,” katanya.
“Kadang responsnya buru-buru, langsung minta maaf, langsung klarifikasi, akhirnya memperuwet suasana,” sambungnya.
Ia menjelaskan, dalam membangun persona branding, penting untuk ikut menyiapkan sejumlah mitigasi risiko.